Candi Cangkuang, pernah dengar nama candi ini ? Letaknya di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Ini adalah satu-satunya candi yang di temukan di Jawa Barat sekitar tahun 1966, sementara di bangunnya diperkirakan abad ke-8. Candi ini berada di pulau kecil, di tengah-tengah Situ Cangkuang (Situ = Danau).
Cangkuang sendiri sebenarnya adalah nama pohon sejenis pandan yang banyak tumbuh di daerah ini. Yang menurut bapak penjaga museum, daunnya memang bisa di anyam untuk tikar dan bentuk buahnya seperti cempedak.
Pohon Cangkuang
Untuk bisa mencapai candi ini, setelah memasuki pintu gerbang, kita harus naik rakit untuk menyeberangi Situ Cangkuang.
Jajaran rakit yang sedang antri menunggu giliran mengangkut penumpang.
Candi Cangkuang ada di pulau yang sebelah sana tuh, yang rimbun dengan pohon.
Saat ibu kesana, ada 24 rakit yang sedang parkir. Rakit-rakit sebagian besar milik masyarakat di sekitar. Mereka mendapat giliran untuk menarik penumpang. Satu rakit biasanya di isi oleh 20 penumpang. Jika penumpang belum sampai 20 orang, ya harus sabar menunggu sampai penuh. Tapi di pintu gerbang, biasanya ada calo rakit. Yang menawarkan sewa rakit dengan tarif tertentu dan bisa langsung menyeberang walau penumpangnya belum sampai 20 orang. Memang lebih mahal tarifnya dibandingkan naik rakit yang menunggu antrian.
Sampai di pulau, kita berjalan menyusuri sisi danau, melewati jajaran pedagang yang menjual oleh-oleh khas Cangkuang. yaitu miniatur Candi dan rakit. Juga ada oleh-oleh khas kota Garut yang lain.
Lalu melewati Komplek Rumah Adat Kampung Pulo. Penduduk kampung ini adalah keturunan Mbah Dalem Arif Muhammad, salah seorang penyebar agama Islam di sekitar Cangkuang. Mereka masih memegang teguh tradisi. Diantaranya adalah, jumlah bangunan di sekitar tidak boleh di tambah. Di sana ada 6 buah rumah dan 1 buah masjid. Menurut cerita, Mbah Dalem Arif Muhammad memiliki 7 orang anak, 6 perempuan dan 1 laki-laki. Dan 6 buah rumah itu diberikan kepada anak perempuannya, sementara untuk anak laki-lakinya di buatkan masjid sebagai simbol. Karena anak laki-lakinya meninggal dunia saat menjadi pengantin sunat.
Miniatur candi dan rakit.
Lalu melewati Komplek Rumah Adat Kampung Pulo. Penduduk kampung ini adalah keturunan Mbah Dalem Arif Muhammad, salah seorang penyebar agama Islam di sekitar Cangkuang. Mereka masih memegang teguh tradisi. Diantaranya adalah, jumlah bangunan di sekitar tidak boleh di tambah. Di sana ada 6 buah rumah dan 1 buah masjid. Menurut cerita, Mbah Dalem Arif Muhammad memiliki 7 orang anak, 6 perempuan dan 1 laki-laki. Dan 6 buah rumah itu diberikan kepada anak perempuannya, sementara untuk anak laki-lakinya di buatkan masjid sebagai simbol. Karena anak laki-lakinya meninggal dunia saat menjadi pengantin sunat.
Ada enam bangunan rumah seperti ini di Komplek Rumah Adat Kampung Pulo
Bangunan masjidnya.
Uniknya, 6 buah rumah yang ada hanya boleh diturunkan kepada anak perempuan saja. Jika keturunannya yang laki-laki sudah menikah, dia harus meninggalkan kampung adat tersebut. Keunikan lainnya, jendela dirumah ini tidak boleh memakai kaca, bentuk rumah tidak boleh diubah, atapnya harus berbentuk jalopong (balok segitiga).
Setelah melewati Kampung Pulo, baru deh kita melewati tangga menuju Candi Cangkuang. Bangunan Candi Cangkuang tidak sebesar Candi Prambanan atau Candi Borobudur. Pondasinya saja hanya berukuran 4,5 meter x 4,5 meter dan tingginya 8,5 meter. Di dalam candi terdapat arca Syiwa. Terakhir kesana sekitar 20 tahun lalu, masih melihat dan memegang arca, tapi sekarang sudah di buat pagar besi. Karena banyak tangan-tangan jahil yang merusaknya. Hiks, sedih ya, kenapa masih banyak yang tidak bisa menghargai benda-benda sejarah.
Di sebelah kanan candi, terdapat makan Mbah Dalem Arif Muhammad. Dan beberepa meter dari tempat ini, ada museum kecil. Isinya naskah-naskah kuno bertuliskan huruf Arab, foto-foto dan beberapa benda lain. Ibu sempat bertanya dengan penjaga museum, kan candi Hindu tapi kenapa banyak naskah-naskah Islam. Ternyata itu peninggalan dari Mbah Dalem Arif Muhammad.
Naskah-naskah kuno itu di tulis di atas Daluang, kertas tradisional yang terbuat dari kulit kayu. Sementara tintanya untuk menulisnya disebut mangsi hideung (hideung = hitam), terbuat dari campuran jelaga, beras ketan dan air.
Awal bulan Maret ini, kami menyempatkan singgah ke Candi Cangkuang sebelum mengajak Fauzan dan Olive berenang di daerah Cipanas - Garut. Jalan-jalan kali ini memang bersama keluarganya Olive aka Nchie. Niat awal sih mau mencari batik Garutan buat hadiah kontes, sekalian saja keliling-keliling Garut termasuk ke Candi Cangkuang dan berenang di Cipanas.
Biarkan foto yang berbicara ya, sekali lagi, jangan bosan melihat penampakan Si merah dan Si Hijau di beberapa postingan terakhir, termasuk di postingan kali ini, hehehe.
Posisi anak-anak kita kok terbalik ya, emak bapaknya keburu narsis duluan, hehehe.
Yuk ke Candi Cangkuang !
jalan rakitannya aman ya, teh? kalo di sini aku jarang main ke candi. hehehe :D tarig sewa rakitnya mahal, pantes harus nunggu 20 orang, mungkin karena kalo dikit jatuhnya jadi mahal ya
BalasHapusInsya Allah aman. Tarif naik rakit rame2, perorangnya cuma 4 ribu rupiah, itu sudah PP. Tapi kalau sewa khusus, satu rakit bisa 65 ribu.
HapusJadi pengen kesana lagi..puas2in nyewa rakitnya biar bisa keliling situ ituh..
BalasHapusdan memanfaatkan View yang ada untuk bernarsis #ehh..
Ayoo atuuh kapan atuh ke sono lagi :P
Iyah, pengen ngedeketin bunga teratainya itu, sambil narsis *nah ..
HapusNtar nchie, sekarang menghela napas dulu .. hehe
pohon cangkuangnya mirip daun suji. Kami belum pernah wisata yang ada rakitnya gt, kapan-kapan kesana, di-guide-in ya. hehehe
BalasHapusPohon cangkuang lebih tinggi dari pohon suji, daunnya pun lebih lebar.
HapusYa udah, kapan kesini, ntar di ajak kesini deh.
bisa naik rakit yak? asyik nih bawa anak anak
BalasHapusIya, memang seru bawa anak2. Suasanya juga bikin tenang.
Hapuskalau di abad ke delapan berarti sama dengan candi dieng yang ada di wonosobo yang juga menganut hindu siwa.
BalasHapusbaru tau ada candi yang juga tua selain candi dieng di p.jawa :)
Bisa jadi mas.
Hapushehe, padahal candi ini suka ada di pelajaran sejarah jaman sekolah lho.
baru denger mbk hehe....wah seru ya pake rakit segala naiknya,seru bangetttt :D
BalasHapusselain seru naik rakitnya, seru juga nunggu rakit yang ngga penuh2 sama penumpang, hehehe ,,, lamaaa
HapusPengen ke situ T.T
BalasHapusAyo Una, di niatin. Ajak Mbak Al ..
Hapusajakin aku juga dooong..he..he..
Hapussejak dari mbak Irma posting dulu selalu aja aku komen pengen datang ke sini ...tapi batal mulu nih bu Dey..
nah Una, sekalian jemput mbak Monda ya ...
Hapusayoooo ...
BalasHapuskapan2 ajakkin donk teh :D
BalasHapusayo, siapa takut :P
Hapuskapan aku di ajakin Buuuuu....???
BalasHapusPotonyah itu lhoooo...sama Mama penyuka warna merah...ga nahan juga hehehe
Maunya kapan ? ayoooo ....
Hapushahaha, jadi model dadakan tuh, gara2 si Merah :D
Abi Aisya juga pernah kesitu, ke candinya jam 1 malem, kan katanya ada penunggunya, jadi abi pengen membuktikan, tapi ternyata nggak bener kak..
BalasHapusmampir ya blog abinya Aisya : http://majelispenulis.blogspot.com/2012/12/candi-cangkuang-arca-syiwa-arif-muhammad.html
hehe, penunggunya udah pada tidur tuh ..
Hapusiya, udah mampir kesana, tapi belum komentar. Makasih ya ..
lokasinya deket ga dari kawah putih?? berapa lama dari sana??
BalasHapusjauh atuh bang, udah beda kabupaten. Kawah Putih mah kabupaten Bandung. Cangkuang udah masuk Garut.
Hapussemoga senantiasa lestari peninggalan tak ternilai itu ya Bu Dey...
BalasHapuslucu bu miniatur rakitnya, dijual berapaan tuh??
BalasHapuswah, ngga sempet nanya harganya.
HapusPaket candi, rakit, komplek rumah adat kekayaan budaya. Hatur nuhun Teh Dey berbagi keindahan.
BalasHapussami2 .. :)
HapusBaru dengar Mba Dey ini candi... sangat menarik sepertinya jalan-jalan kesini... *jadi pengen... hehehehehe
BalasHapusSaya sich sangat maklum Mba klo banyak foto2nya Mba Dey dan Mba Nchie secara sayang moment itu tak diabadikan dan ada kita didalamnya... jadi biarkan saja foto yang bercerita... heheheheh *pembelaan sesama narsis.. :d
ayo..ayo, main kesini seru lho.
Hapushahaha, dapet pembelaan dari sesama narsis :D
Bagus Teh Dey candi dan kawasan sekitarnya. Paling seneng lihat bentuk rumah tradisionalnya yang asri banget itu. Mengingatkan sama rumah di Nganjuk, rumahnya Mbah. :D
BalasHapusSeneng ya bisa jalan rame-rame gitu.
eh, orang Nganjuk ? Moyang saya dari ibu asalnya dari sana juga lho ... *siapa yang nanya .. :D
Hapuswah nama candinya unik ya...ada pohonnya juga toh.
BalasHapusiya, aslinya memang nama pohon.
HapusPernah punya cita-citaa jadi arkeolog tapi buat jalan-jalan lihat-lihat peninggalan sejarah Indonesia aja jarang banget.
BalasHapusbaca postingan ini jadi inget cita-cita sama lalu. Mungkin harus nyoba berkunjung ke sana ^_^